KOTA KEZALIMAN – Suatu Hari Jumat di Yerusalem
M. Kamel Hussein
(13 x 21) cm; 304 hlm; bookpaper; 2014
ISBN: 978-602- 97616-2-7
ISBN: 978-602- 97616-2-7
Rp 60.000
“Yah! Hari ini aku melihat suatu keajaiban yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Kalau kita mujur terus seperti ini, aku hanya bisa berpikir bahwa kiamat sudah dekat. Tidakkah kamu tahu apa yang terjadi di Yerusalem hari ini? Seorang pria biasa, tanpa kuasa, kewenangan, atau pangkat, seorang pria yang tidak berminat kepada harta atau pengetahuan, masuk ke Yerusalem dengan mengendarai keledai. Keledai malang ini tertatih-tatih, sepertinya cukup untuk membuat penunggangnya terlempar dan untuk mematahkan lehernya sendiri. Pria itu memasuki kota, disertai kaum gembel Israil. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian yang masih sangat berbau amis—sebab kebanyakan mereka adalah nelayan dari Galilea. Gerombolan orang malang yang bodoh, berpikiran lemah, dan miskin papa ini sukar kamu temukan tandingannya di Yerusalem.
Dengan cara rendahan seperti itu, sang pria memasuki kota kita sambil memegang cabang pohon zaitun, yang menandakan seruan perdamaiannya. Ia juga mengkhotbahkan bahwa manusia harus saling mengasihi dan bahwa harus ada kasih pula antara Allah dan manusia. Para pengikutnya berkata bahwa ia adalah nabi yang mengadakan mukjizat dan menyembuhkan orang sakit. Bahkan ia dikatakan membangkitkan orang mati. Dan ada macam-macam takhyul lain di antara orang-orang yang percaya kepadanya. Ia menyerukan suatu akidah baru dan agama istimewa bikinannya sendiri yang menempatkan orang miskin di atas orang kaya, orang bodoh di atas orang terpelajar, dan orang lemah di atas orang kuat.
Kukira kegilaan pesan itu, dan kapasitas lemah penyiarnya, cukup untuk membuat orang menanggapinya dengan olok-olok dan hinaan belaka. Tapi aku sungguh tercengang mendapati orang sudi menerima pesan itu dan melihat keyakinan mereka kepada pria itu sewaktu mereka mengerumuninya. Namun, aku hanya berpikir bahwa orang bisa percaya kepadanya karena mereka sudah tidak punya harapan sukses apa pun dalam hidup.”
Sang gadis dari Magdala mulai bertanya-tanya tentang penyiar ajaran baru itu, tentang jati dirinya, khotbah-khotbahnya, dan para pengikutnya. Ia mendapati bahwa orang yang menantang warga Yerusalem itu mengkhotbahkan kasih antar manusia dan kasih antara Allah dan manusia. Ia memaklumkan kerendahan hati sebagai sumber segala kebajikan, jalan menuju kemakmuran, dan cara meraih kebahagiaan abadi. Sang gadis mengetahui bahwa pria itu memaafkan pelanggaran dan mengampuni dosa. Ia pun sadar bahwa keselamatannya akan datang melalui pria itu, guru itu, yang mengabaikan orang kaya dan orang terpelajar dan menyembuhkan kesombongan manusia. Wajahnya berbinar oleh pikiran dalam jiwanya itu.
Ia berdiri di kamarnya sebagai isyarat agar semua orang lain keluar dari situ. Setelah mereka keluar, ia menyelinap secara diam-diam dari rumah itu dan melarikan diri dengan satu pikiran saja di benaknya. Ia tidak mengenakan kerudung dan hanya berbalutkan pakaian tipis saja. Ia takut kehilangan waktu dan terlambat untuk saat pembebasan. Ia cemas kalau-kalau hal yang sangat diinginkan hatinya luput darinya. Sebagai wanita, ia tidak dalam keadaan yang pantas untuk berada di jalanan, tapi ia sama sekali tak peduli akan sekitarnya. Ia tidak mau ambil pusing tentang apa yang mungkin dikatakan orang tentang dia. Ditinggalkannya segala kekayaannya; buru-buru ditujunya tempat ia dapat menemukan pria itu. Ia telah membulatkan pikiran bahwa pria itu akan menjadi juruselamatnya.
Bukan perkara sulit untuk menemukan dia sebab banyak orang berkerumun di sekitarnya. Beberapa dari mereka hanya ingin bisa berkata bahwa mereka sudah pernah melihat dia. Orang-orang yang lain mencari kesembuhan dari penyakit mereka, tapi ada juga orang-orang yang mengikuti dia karena sungguh percaya kepadanya. Sang gadis mulai menerobos di tengah-tengah orang banyak. Berdasarkan penampilan dan busananya siapa pun bisa menilai bahwa ia bukan perempuan baik-baik. Orang menghindarinya sehingga membukakan jalan baginya, semacam koridor yang dihiasi lirikan jijik dan tatapan menghina. Tanpa memperhatikan mereka, ia maju dengan mantap ke arah pria itu.Tapi ia tidak dapat melihat wajahnya karena pria itu tidak menghadap ke arahnya.
Lalu terjadilah bahwa pria itu disentuh seorang wanita atau orang lain dan tahu bahwa itu sentuhan orang beriman. Meskipun dikerumuni semua orang, ia hanya menanggapi mereka ketika wanita beriman ini menyentuhnya. Dia saja yang bisa mengenali sentuhan seorang beriman. Saat itu juga sang guru berpaling dan bertanya siapakah yang menyentuh dia. Begitu melihat wajahnya, sang gadis yang melarikan diri terpukau oleh sosoknya. Ia tahu bahwa kali ini harapan keselamatan tidak akan mengecewakannya. Dengan satu seruan ia menyatakan imannya kepadanya, keyakinannya bahwa dalam dialah ada kebebasannya.
Pria itu memberinya tanda untuk mengikutinya. Banyak orang marah kepadanya karena, sebagai nabi yang diharapkan manusia, ia menerima orang seperti gadis itu. Ketika pria itu tahu bahwa mereka merasa jijik, ia mengucapkan kepada mereka perkataan yang mengesankan ini: “Gembala yang bijak memperhatikan domba yang hilang di antara kawanan dombanya. Ia bersuka hati ketika domba itu kembali kepadanya dan membiarkan domba-domba yang tidak tersesat.” Tapi banyak orang menganggap pernyataan itu tidak memadai untuk membenarkan perlakuan lembut dan sambutannya terhadap sang gadis yang jelas-jelas orang berdosa.
Khalayak membubarkan diri tapi sang gadis tetap berpaut kepada pria itu, lebih dekat dari bayangannya sendiri. Ia mengikuti pria itu masuk ke sebuah rumah. Ketika pria itu duduk, sang gadis mengambil tempat di kakinya. Ia membasuh kaki pria itu dengan air matanya lalu menyekanya dengan rambutnya. Ia mencium dan membelai kedua kaki itu dengan penuh kasih. Saat itu juga ia merasa bahwa ia disembuhkan dari segala penyakitnya. Cahaya dari sang nabi baru membanjiri jiwanya dan belas kasihan Allah merangkulnya hangat. Kesombongannya dibersihkan. Sesal, duka, dan cela lenyap darinya. Ia menemukan kebahagiaan sempurna yang sebelumnya selalu dianggapnya tak mungkin.
Kesembuhannya menerbitkan air mata bahagia di matanya. Ia tak mempedulikan apa pun lagi selain iman baru ini. Ia memasukinya dengan segala suka hati, ketulusan, dan kekuatan yang bisa dikerahkannya. Sebelum dia, tak ada jiwa pernah dibersihkan seperti jiwanya. Tak pernah pula anugerah ilahi memenuhi suatu jiwa sampai berlimpah seperti jiwa perempuan muda berdosa ini. Oleh anugerah Allah ia menjadi orang suci; kesuciannya kelak menjadi terkenal.
.................................
Demikianlah suatu hari sang gadis duduk dekat jendela, mengawasi kalau-kalau sang pemuda datang. Saat itu ia masih bergumul dengan hasratnya kepada sang pemuda. Sesekali ia menang atas hasratnya, tapi di kali-kali lain hasrat itu terlalu kuat baginya. Selama sejam ia akan memanjakan kerinduannya kepada sang pemuda, lalu berjuang keras berjam-jam untuk melupakan dia. Selagi dalam keadaan pikiran seperti ini, seorang pria terkemuka di tengah masyarakat datang sambil tertawa dengan nada mengejek. Ia bertepuk tangan dan menyatakan:
“Yah! Hari ini aku melihat suatu keajaiban yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Kalau kita mujur terus seperti ini, aku hanya bisa berpikir bahwa kiamat sudah dekat. Tidakkah kamu tahu apa yang terjadi di Yerusalem hari ini? Seorang pria biasa, tanpa kuasa, kewenangan, atau pangkat, seorang pria yang tidak berminat kepada harta atau pengetahuan, masuk ke Yerusalem dengan mengendarai keledai. Keledai malang ini tertatih-tatih, sepertinya cukup untuk membuat penunggangnya terlempar dan untuk mematahkan lehernya sendiri. Pria itu memasuki kota, disertai kaum gembel Israil. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian yang masih sangat berbau amis—sebab kebanyakan mereka adalah nelayan dari Galilea. Gerombolan orang malang yang bodoh, berpikiran lemah, dan miskin papa ini sukar kamu temukan tandingannya di Yerusalem.
Dengan cara rendahan seperti itu, sang pria memasuki kota kita sambil memegang cabang pohon zaitun, yang menandakan seruan perdamaiannya. Ia juga mengkhotbahkan bahwa manusia harus saling mengasihi dan bahwa harus ada kasih pula antara Allah dan manusia. Para pengikutnya berkata bahwa ia adalah nabi yang mengadakan mukjizat dan menyembuhkan orang sakit. Bahkan ia dikatakan membangkitkan orang mati. Dan ada macam-macam takhyul lain di antara orang-orang yang percaya kepadanya. Ia menyerukan suatu akidah baru dan agama istimewa bikinannya sendiri yang menempatkan orang miskin di atas orang kaya, orang bodoh di atas orang terpelajar, dan orang lemah di atas orang kuat.
Kukira kegilaan pesan itu, dan kapasitas lemah penyiarnya, cukup untuk membuat orang menanggapinya dengan olok-olok dan hinaan belaka. Tapi aku sungguh tercengang mendapati orang sudi menerima pesan itu dan melihat keyakinan mereka kepada pria itu sewaktu mereka mengerumuninya. Namun, aku hanya berpikir bahwa orang bisa percaya kepadanya karena mereka sudah tidak punya harapan sukses apa pun dalam hidup.”
Sang gadis dari Magdala mulai bertanya-tanya tentang penyiar ajaran baru itu, tentang jati dirinya, khotbah-khotbahnya, dan para pengikutnya. Ia mendapati bahwa orang yang menantang warga Yerusalem itu mengkhotbahkan kasih antar manusia dan kasih antara Allah dan manusia. Ia memaklumkan kerendahan hati sebagai sumber segala kebajikan, jalan menuju kemakmuran, dan cara meraih kebahagiaan abadi. Sang gadis mengetahui bahwa pria itu memaafkan pelanggaran dan mengampuni dosa. Ia pun sadar bahwa keselamatannya akan datang melalui pria itu, guru itu, yang mengabaikan orang kaya dan orang terpelajar dan menyembuhkan kesombongan manusia. Wajahnya berbinar oleh pikiran dalam jiwanya itu.
Ia berdiri di kamarnya sebagai isyarat agar semua orang lain keluar dari situ. Setelah mereka keluar, ia menyelinap secara diam-diam dari rumah itu dan melarikan diri dengan satu pikiran saja di benaknya. Ia tidak mengenakan kerudung dan hanya berbalutkan pakaian tipis saja. Ia takut kehilangan waktu dan terlambat untuk saat pembebasan. Ia cemas kalau-kalau hal yang sangat diinginkan hatinya luput darinya. Sebagai wanita, ia tidak dalam keadaan yang pantas untuk berada di jalanan, tapi ia sama sekali tak peduli akan sekitarnya. Ia tidak mau ambil pusing tentang apa yang mungkin dikatakan orang tentang dia. Ditinggalkannya segala kekayaannya; buru-buru ditujunya tempat ia dapat menemukan pria itu. Ia telah membulatkan pikiran bahwa pria itu akan menjadi juruselamatnya.
Bukan perkara sulit untuk menemukan dia sebab banyak orang berkerumun di sekitarnya. Beberapa dari mereka hanya ingin bisa berkata bahwa mereka sudah pernah melihat dia. Orang-orang yang lain mencari kesembuhan dari penyakit mereka, tapi ada juga orang-orang yang mengikuti dia karena sungguh percaya kepadanya. Sang gadis mulai menerobos di tengah-tengah orang banyak. Berdasarkan penampilan dan busananya siapa pun bisa menilai bahwa ia bukan perempuan baik-baik. Orang menghindarinya sehingga membukakan jalan baginya, semacam koridor yang dihiasi lirikan jijik dan tatapan menghina. Tanpa memperhatikan mereka, ia maju dengan mantap ke arah pria itu.Tapi ia tidak dapat melihat wajahnya karena pria itu tidak menghadap ke arahnya.
Lalu terjadilah bahwa pria itu disentuh seorang wanita atau orang lain dan tahu bahwa itu sentuhan orang beriman. Meskipun dikerumuni semua orang, ia hanya menanggapi mereka ketika wanita beriman ini menyentuhnya. Dia saja yang bisa mengenali sentuhan seorang beriman. Saat itu juga sang guru berpaling dan bertanya siapakah yang menyentuh dia. Begitu melihat wajahnya, sang gadis yang melarikan diri terpukau oleh sosoknya. Ia tahu bahwa kali ini harapan keselamatan tidak akan mengecewakannya. Dengan satu seruan ia menyatakan imannya kepadanya, keyakinannya bahwa dalam dialah ada kebebasannya.
Pria itu memberinya tanda untuk mengikutinya. Banyak orang marah kepadanya karena, sebagai nabi yang diharapkan manusia, ia menerima orang seperti gadis itu. Ketika pria itu tahu bahwa mereka merasa jijik, ia mengucapkan kepada mereka perkataan yang mengesankan ini: “Gembala yang bijak memperhatikan domba yang hilang di antara kawanan dombanya. Ia bersuka hati ketika domba itu kembali kepadanya dan membiarkan domba-domba yang tidak tersesat.” Tapi banyak orang menganggap pernyataan itu tidak memadai untuk membenarkan perlakuan lembut dan sambutannya terhadap sang gadis yang jelas-jelas orang berdosa.
Khalayak membubarkan diri tapi sang gadis tetap berpaut kepada pria itu, lebih dekat dari bayangannya sendiri. Ia mengikuti pria itu masuk ke sebuah rumah. Ketika pria itu duduk, sang gadis mengambil tempat di kakinya. Ia membasuh kaki pria itu dengan air matanya lalu menyekanya dengan rambutnya. Ia mencium dan membelai kedua kaki itu dengan penuh kasih. Saat itu juga ia merasa bahwa ia disembuhkan dari segala penyakitnya. Cahaya dari sang nabi baru membanjiri jiwanya dan belas kasihan Allah merangkulnya hangat. Kesombongannya dibersihkan. Sesal, duka, dan cela lenyap darinya. Ia menemukan kebahagiaan sempurna yang sebelumnya selalu dianggapnya tak mungkin.
Kesembuhannya menerbitkan air mata bahagia di matanya. Ia tak mempedulikan apa pun lagi selain iman baru ini. Ia memasukinya dengan segala suka hati, ketulusan, dan kekuatan yang bisa dikerahkannya. Sebelum dia, tak ada jiwa pernah dibersihkan seperti jiwanya. Tak pernah pula anugerah ilahi memenuhi suatu jiwa sampai berlimpah seperti jiwa perempuan muda berdosa ini. Oleh anugerah Allah ia menjadi orang suci; kesuciannya kelak menjadi terkenal.
...........................................
=========================================================================
Ini adalah cerita tentang
Jumat Agung dan penyaliban Isa orang Nazaret. Cerita ini sudah sering
dituturkan, dan zaman yang menjadikan peristiwa itu penting sudah didiskusikan
lagi dan lagi di dunia kekristenan lewat tak terhitung ceramah dan tulisan.
Dari sudut pandang itu, buku ini tidak menyumbangkan sesuatu yang luar biasa.
Namun, Dr. M. Kamel
Hussein, pengarangnya, adalah seorang Muslim yang taat dan buku ini adalah buku
pertama di dunia Islam yang membuat studi saksama tentang pokok iman Kristen.
Kamel Hussein bukan saja seniman besar, tapi juga seorang berwawasan mendalam
tentang tabiat manusia serta kekuatan-kekuatan yang berkuasa atas keberadaan
kita secara individu dan dunia secara umum. Segala bahaya dan dosa dalam hidup
dan zaman kita diungkapkan lewat pencerminan dalam tindakan para rasul, orang
Yahudi, dan orang Rum. Buku ini merupakan seruan yang bersemangat dan peka agar
manusia mendengar dan mematuhi suara hati nuraninya.
Pertemuan antara pemikiran
Islam dan Kristen mungkin tampak mengherankan. Namun, di samping segala perbedaannya,
ada kemiripan mendasar antara keduanya—lebih dari yang dilihat mata.
Versi asli buku ini (dalam
bahasa Arab) telah mendapat Anugerah Negara untuk Literatur di Mesir.
Tersedia pula versi digitalnya di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar