HEARTLINES OF DENPASAR - Garis-garis Jantungnya Kota Denpasar
Erland Sibuea
(25 x 20) cm; 272 hlm; Akasia; 2013
Pakai jaket dan kotak buku
ISBN: 978-602-14372-0-9
Rp 700.000
Terbitan Istimewa, 400 eks dengan no. seri dan tanda tangan
Potret Imajinatif,
Rekaman Realitas Erland Sibuea
Tidak banyak orang mau bersusah-susah merekam hiruk-pikuknya situasi perkotaan dengan coretan garis membangun nilai artistik memakan waktu berhari-hari. Karena realitas ceprat-cepret dengan kamera yang super canggih mampu memberi jawaban sebaik-baiknya terhadap realitas, bahkan bisa dimainkan dengan sesuka hati. Kreativitas imajinatif berperan menentukan kualitas hasil jebretannya, bahkan oleh pihak-pihak tertentu sering disalah gunakan dalam bidang tertentu untuk suatu kepentingan-kepentingan tertentu. Itu artinya realitas obyektif bisa dikaburkan oleh proses kreatif yang dipandang sebagai “seni berbasis teknologi”, atau bisa dikatakan sebagai “teknologi kreatif”. Semuanya itu merupakan jawaban terhadap “manual kreatif” diawali oleh nenek moyang kita sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Berbeda dengan Erland yang masih terhadap manual kreatif merekam dengan goresan-goresan lincahnya (sketsa) dari obyek-obyek aneka situasi, berbagai aktivitas pertokoan, suasana pasar, suasana macetnya lalu lintas, arena parkir dan lain sebagainya yang disajikan sebagai hasil kerja kreatifnya selama empat tahun terakhir (2009 hingga kini). Sketsa-sketsa Erland mengingatkan kita seperti apa yang dilakukan orang Belanda pada jaman penjajahannya di Indonesia. Arie Smit mendapat tugas oleh pemerintahnya untuk menggambar berbagai jenis tumbuh-tumbuhan di Indonesia yang dalam perjalanan karirnya akhirnya tinggal di Bali menjadi pelukis terkenal. Rekaman sketsa zaman perjuangan oleh Henk Ngantung memberikan sebagian jawaban realitas yang membangkitkan semangat patriotisme. Namun jauh sebelumnya goresan-goresan Raphael, Rembrandt, Leonardo Da Vinci dan lain-lainnya, telah menunjukkan kebolehan yang luar biasa bagi perkembangan seni rupa dunia. Akibat kebolehannya itu karya-karya seniman tersebut dijadikan acuan bagi perguruan tinggi seni rupa di seluruh dunia. Berbeda dengan sketsa-sketsa Widayat yang berlanggam “dekoramagis” dan Nyoman Gunarsa bergaya ekspresionis, yang membangun ciri kepelukisan masing-masing. Akankah apa yang dilakukan Erland dapat mengikuti keteladanan tokoh-tokoh tersebut di atas, barangkali kerja keras, komitmen, dan sang waktulah yang akan menentukan. Namun patut diacungi jempol bahwa Erland telah menempatkan dirinya pada posisi kreatif sketsa-sketsanya. Pernyataan sikap seniman besar Pablo Picasso dalam menentukan sikap kesenimanannya “saat saya telah menemukan sesuatu untuk diekspresikan, saya melakukannya tanpa memikirkan masa lalu dan masa depan”. Itu artinya Picasso pada saat mengekspresikan sesuatu yang menjadi interpenetrasi antar subyek dengan obyek menjadi kondisi jiwa yang penuh ekstasis yaitu memurnikan dirinya dalam ekspresi, membebaskan pikiran dari keterikatan masalah-masalah eksternal materialistis. Hal ini merupakan bentuk interpretasi penuh kedalaman jiwa lebur menjadi sesuatu yang penuh sugesti (kualitas pengalaman estetis).
Membaca Teks;
Mendulang Nilai Estetis dan Mencari Makna
Membaca teks visual karya-karya sketsa Erland yang dikerjakan selama empat tahun dari sekitar 162 lembar sketsa dan karya-karya sebelumnya memerlukan cara pembacaan secara holistik agar menemukan nilai dan makna teks visual. Sudah barang tentu dalam pembacaan unsur-unsur subyektif pembaca besar kemungkinannya, karena memang seni memiliki “keterikatan terhadap nilai”.
Mudji Sutrisno: “Membaca adalah tugas menafsir”, jika budaya dibaca sebagai teks, dan kita adalah para penafsirnya, maka kemanakah arah ataupun tujuan pembacaan teks itu? Jawaban Mudji Sutrisno ke arah budaya hidup bersama lebih berkeadaban. Permasalahan yang dihadapi adalah “homogenisasi budaya”dimana dalam proses globalisasi dari kapitalisme konsumtif menghasilkan hilangnya keragaman budaya. Tetapi justru dalam dunia seni lahir keberagaman karya seni, karya-karya sketsa merupakan “bibit” entahlah akan menjadi karya-karya lukisan yang menggetarkan apresian publiknya atau sketsa saja. Ketika dia berbicara sebagai sketsa, tentu pokok soal dari realitas yang dicerap dan kemudian diekspresikan menjadi realitas yang tidak seutuhnya, menjadi realitas imajinatif, ekspresif dan spontan. Namun karakteristik dan identitas obyek masih dapat dikenali. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan Erland dalam upaya membuka tabir rahasia dirinya dan dorongan bakat yang menggebu, yang mampu membalikkan arah jalur hidupnya dari sarjana teknik industri menjadi “penggores” yang potensial. Berbagai motivasi dan dorongan yang diikuti melalui gerak hatinya (inner power) mampu menggerakkan jiwa dan raganya siap berhari-hari menggoreskan pena menyalurkan pengalaman estetisnya.
Realitasnya melalui karya-karya sketsanya dia terasa semakin nyaman dan bersemangat walaupun karya-karya sketsa saat ini belum banyak dilirik orang. Tumpukan karya-karyanya membuktikan semangat dan komitmennya sekaligus menjadi realitas atau fakta sosial yang bersifat alamiah yang tidak dapat diputarbalikkan dengan alasan-alasan teoritik. Pertimbangan ekonomi bagi Erland tidak serta merta mendominasi persoalan kreatif, tetapi ada sesuatu yang meletup dari dalam, bagaikan sebuah keharusan dan wajib diekspresikan. Dorongan itu menjadikan dirinya tergerak merekam berbagai sudut kota Denpasar di Jalan Gajah Mada, Museum Bali dari berbagai sudut pandang, hiruk pikuk pasar Badung dari berbagai arah, jalan Sulawesi, Patung Catur Muka dan lain sebagainya. Lahirnya karya-karya sketsa sebagai ekpresi budaya dan sekaligus merupakan artefak budaya pada saatnya nanti, akan memberi makna tertentu generasi pengemban sejarah kehidupan manusia.
Oleh karena demikian keberadaannya sebagai sebuah potret imaji subyektif terhadap realitas obyek yang menjadi gaya tariknya. Di situ berlaku nilai-nilai estetis yang diberi bentuk, motif maupun aksentuasi menghasilkan nilai artistik sebuah goresan. Sajian-sajian seperti menjadi perjuangan Erland yang sangat intensif dalam setiap karya sketsanya. Setiap suasana direkam melalui penataan obyek, gedung, keramaian orang-orang, mobil, sepeda motor, angkutan berkuda, di satu sisi pepohonan hadir sebagai elemen hias membantu melahirkan keseimbangan komposisi, yang memberi dampak kenikmatan mata memandang. Perspektif dimanfaatkan sebagai upaya menjawab realitas obyek mendekati realitas sesungguhnya. Obyek-obyek yang mengisi seluruh bidang gambarnya ditangkap secara cepat, takut kehilangan momen yang menarik perhatian. Walaupun semuanya itu tidak bisa lepas dari unsur-unsur rekayasa pribadinya.
Akankah para apresian memiliki pengalaman estetis yang sama, menarik perhatian atau tidak menarik sama sekali terhadap persoalan kreatif yang disajikan? Persoalan itu merupakan dinamika proses pencerapan atau apresiasi. Melalui realitas baru yang disajikan, pada umumnya memunculkan kekagetan, keraguan, kegundahan yang pada akhirnya timbul pertanyaan untuk direnungi dan dikaji. Ketika realitas baru yang selalu menjadi dambaan publik menjadi persoalan tersendiri bagi para kreator, mulai dari proses kreatif, membangun paradigma menjawab isu, mengantarkan publik menyadari realitas baru (fisika dan metafisika). Salah satu tugas mulai para kreator yang patut dihargai. Ketika persoalan-persoalan itu mendapat respon baik dari masyarakat apresiannya, walaupun itu bukan saat karya itu diciptakan, bahkan puluhan tahun ketika karya itu mulai dibicarakan seperti karya pematung Cokot di Bali. Suatu renungan buat Erland “Akankah stabilitas proses berkarya, membuka ruang apresiasi menjadi komitmen hidupnya”, seperti Cokot, Affandi, Gunarsa atau seperti seniman besar lainnya. Semua hal itu ditentukan oleh energi dan waktu dan ruang dimana dia hidup. Walaupun jalan masih panjang namun Erland telah memposisikan dirinya lewat sketsa-sketsanya membangun apresiasi, membangun rasa halus menyentuh perasaan, memasuki nilai dan makna yang disiratkan didalamnya.
Bagi para perupa yang berkiprah pada persoalan kreatif, imajinasi, lebih sensitif dan responsif terhadap persoalan itu. Apapun wujud yang lahir dari proses kreatif adalah sah adanya dan bernilai estetis sebagai salah satu sifat keabadian seni. Oleh karena demikian memelihara dan menghargai setiap bentuk pertumbuhan seni adalah “sebuah amanat” bagian dari “swadarmaning hidup” artinya; bagi yang hidup wajib menghargai kehidupan, karena di dunia ini tempatnya sesuatu itu tercipta, hidup dan berkembang. Keberadaannya berdaya hidup ketika digelarkan, didiskusikan, melalui dimensi-dimensi waktu dan keluasan apresiasi dan tanggung jawab. Ketika itulah seni terikat nilai dan terlibat pada persoalan, sosial, ekonomi, pendidikan, politik, agama dan lain-lainnya serta memerankan dirinya sebagai “seni merangkul makna”.
I Ketut Murdana Budayawan Bali